Cemburu
"Sungguh wanita bisa menyembunyikan cintanya selama 40 tahun, namun tak sanggup menyembunyikan rasa cemburunya walau hanya sesaat" (Ali Bin Abi Thalib)
CEMBURU. Apa yang terpikirkan dalam benak mu ketika kamu membaca satu kata itu? Kata yang kekuatannya memiliki dampak yang luar biasa. Kata yang sering terucap dari insan yang berpasang. Seringnya memicu pertengkaran dan sakit hati di bagian akhir pernyataan "Aku cemburu".
Siapa yang lebih sering cemburu? Perempuan atau laki-laki? Keduanya mungkin punya porsi yang hampir berimbang. Tapi untuk kali ini, aku sebagai perempuan, lebih sering merasakan kecemburuan. Ali Bin Abi Thalib benar. Aku sepakat dengan ucapannya. Aku merasakannya. Aku mengalaminya. Andai pun bisa, sungguh aku ingin biasa saja. Tidak merasakan cemburu ketika laki-lakiku jalan berdua dengan perempuan lain. Tidak merasakan cemburu ketika laki-lakiku lebih sering berkomunikasi dengan perempuan lain dibanding dengan dengan ku. Sepertinya itu lebih menenangkan, menyenangkan, dan menyehatkan, Iya, menyehatkan. Karena faktanya asam lambungku sering kumat akhir-akhir ini karena menganggap semua baik-baik saja dan mengatakan "aku nggak papa".
Aku perempuan. Yang ternyata perasaan memang lebih berperan di sini. Sekuat-kuatnya aku terlihat baik-baik saja, pada akhirnya benteng pertahananku runtuh juga. Kemarin-kemarin aku masih bisa sembunyi di kamar dengan musik yang volumenya paling keras, atau bahkan di kamar mandi dengan kran yang ku buka lebar agar aliran airnya deras dan suaranya menutupi isak tangis yang sungguh sesak. Setelah semua keluar dan lega, aku bisa terlihat baik-baik saja dan kembali menghubungimu. Tapi untuk kali ini, ternyata tidak bisa. Maaf. Semuanya terpaksa pecah bahkan hingga kamu harus tau kalau ternyata selama ini aku hanya berpura-pura baik-baik saja. Air mataku keluar di mana aku berada saat itu. Sudah tidak bisa untuk ditahan hingga pulang dan terbaring di kamar. Sudah tidak bisa ditahan untuk berjalan ke kamar mandi. Aku tidak sekuat itu ternyata.
Aku yakin, tiap perempuan yang memutuskan untuk menjadi sepasang, pasti tidak pernah bermaksud untuk membatasi pergaulanmu, laki-laki. Tidak pula bermaksud melarangmu melakukan apa yang kamu senangi. Tidak pernah pula memiliki maksud untuk mengatur kehidupanmu. Kami hanya ingin kamu juga mengerti posisi kami sebagai perempuan yang mengedepankan perasaan dari pada logika. Mungkin kalian sering berpikir kami rumit. Sungguh, sebenarnya kerumitan itu terletak hanya di dalam pikiran kalian saja. Kami tidak serumit itu.
Ketika aku mengatakan bahwa aku cemburu, aku tidak lantas ingin kamu seketika berubah menjauhi teman perempuan yang kucemburui. Aku juga tidak menuntutmu untuk meninggalkan hal yang kamu sukai. Aku pun tidak meminta mu untuk lantas hanya mengurusiku, mendekatiku lebih dekat atau semacamnya. Dunia mu bukan hanya aku. Pun aku, duniaku bukan hanya kamu. Dia temanmu. Kamu berhak untuk berteman dengan siapa saja, tapi tolong jagalah apa yang seharusnya kamu jaga. Mengertilah apa yang seharusnya kamu mengerti. Kalau dengan ini kamu mengiraku berlebihan, mengaturmu, melarang-larangmu, itu hak mu. Tapi, aku pun juga memiliki hak untuk mengatakan bahwa aku benar-benar cemburu. Aku mengatakan setelah aku menyembunyikan. Aku mengatakan setelah aku menyabarkan apa-apa yang menyakitkan. Aku mengatakan setelah aku diam dengan maksud memberimu kesempatan, siapa tau apa yang kamu lakukan akan hanya kali itu saja dilakukan. Tapi nyatanya tidak. Diam dan sabarku tidak cukup membuatmu mengerti tentang betapa laranya aku menahan. Dan sekarang aku putuskan untuk mengatakan, kemudian kamu bilang aku menyebalkan, wanita penuh aturan.
Terserah, ku bilang. Kali ini sungguh, aku hanya bisa berkata terserah dan pasrah. Kalau memang harus berakhir sekiranya itu memang lebih baik, mungkin. Jika kamu ingin bebas, berarti memang benar jika harus diakhiri. Setelah itu kamu bisa melakukan apapun sesuka yang kamu mau tanpa khawatir akan ada aku yang menyerewetimu. Siap tidak siap, aku memang harus siap.
Komentar
Posting Komentar