Perantauan yang Terlalu Dicintai

Pulang. Satu kata dengan ragam ekspresi yang dapat dimunculkan ketika sebagian orang mendengarnya. 
Pulang. Kata yang bisa sangat diharapkan kehadirannya ketika setelah berjuta detik penantian disabarkan.
Pulang. Kata yang terlalu rapuh dan enggan didengar, ketika suka dan keinginan masih begitu berlarian di sudut-sudut jalanan dan menarik untuk dikejar. 

Siapa di sini yang pernah begitu merindukan kepulangan? Atau, mungkin ada yang pernah menunda kepulangan? Menghindari kepulangan. Mencari beribu alasan agar tetap berada di tempat di mana ia tinggal. Atau justru malah pernah berada di keduanya.

Aku pernah berada di posisi dua hal itu.  Sebagai mahasiswa perantauan yang dulunya anak ibu banget, ke mana-mana ngga berani sendiri. Jarang banget main karena ngga pernah dibolehin. Sampai akhirnya memutuskan untuk kuliah di luar kota. Biar bisa bebas. Biar bisa main. Sungguh dulu niat utamanya kuliah luar kota karena itu wkwk. Maafkan anakmu ini, Bu. Awal-awal kuliah homesick parah. Sering banget nangis dan pengen pulang. Berat badan turun drastis karena nggak doyan makan. Maklum lah ya, belum kenal banyak temen. Sampai akhirnya waktu yang bikin aku berhasil adaptasi sama lingkungan baru. Nyaman. Betah. Kenal banyak temen. Ikut banyak acara. Main. Ngemall. Bahagia.

Solo, berhasil jadi kota yang paling aku cintai selain Salatiga, kota kelahiranku. Malah, kayaknya aku lebih nyaman di Solo dari pada di Salatiga hahha. Empat tahun tinggal di sana jelas banyak hal yang dilalui. Banyak cerita. Banyak lah pokoknya. Jadi tempat paling aman buat kabur ketika lagi ada masalah. Jadi tempat paling aman buat nangis karena nggak banyak orang tau. Jadi tempat paling aman buat pulang. Pulang dan ketemu dia.

Sepanjang jalanan Selamet Riyadi banyak banget kenangan yang kececer. Sudut laweyan, alun-alun, angkringan Pak Dhalang, Isi, Burjo, Jalan Surya belakang kampus, Ngoresan, bahkan lorong kampus dan banyak tempat lainnya yang nggak bisa disebutin pun harumnya sama. Aroma Rindu. Aroma kedamaian, yang sekarang berubah jadi aroma kenangan.

Akhir perkuliahan, akhir dari segala akhr usai wisuda. Berkemas adalah hal yang drama banget. Beresin barang-barang di kosan. Nemu barang yang lama dicari tapi entah ke mana dan akhirnya ketemu. Termasuk barang mantan yang ternyata nyelempit-nyelempit di lemari hahaha. Pisah sama kamar kosan juga sedih gitu rasanya. Kamar ternyaman walau kamar mandinya di luar. Kamar yang jadi saksi betapa perjuangan skripsi begitu keras dikerjain. Kamar yang jadi saksi ketika lagi nangis karena sakit dan patah hati. Kamar yang jadi saksi ketika bahagia dan senyum-senyum sendiri pas si dia nelpon. Lah elaaaahhh melow nih. Jadi tambah kan kangennya.  

Aku pulang dengan terpaksa. Semenjak hari kepulanganku ke rumah, semenjak statusku berubah dari mahasiswa ke sarjana, semenjak itu pula kebebasan ku bakal ilang. Pulang balik ke Salatiga dengan segala aturan rumah yang wajib ditaati. Pulang main ngga lebih dari jam 8 malem. Itupun jam 6 udah ditanyain kapan pulang. Ijin jelas dan terperinci mau ke mana dan pergi sama siapa.Dan segala hal lainnya, yang akhirnya bikin sku jadi memilih untuk di rumah dan nggak main.
Selama balik ke Salatiga aku mirip orang bingung. Galau. Sedih. Di sini temennya udah ilang. Mau main nggak ada tempat hiburan. Sedih kan...

Sungguh aku rindu Solo dan seisinya. Rindu kampus. Rindu temen-temen. Rindu kamu.

Tapi bagaimanpun, hidup tetep harus berjalan kan? Dan ini bagian dari hidup aku yang harus dilalui. Hampir satu tahun setengah aku tinggal lagi di Salatiga, tapi sepanjang waktu itu pula aku selalu mencari beribu alasan tiap bulannya untuk bisa pergi lagi ke Solo. Apapun alasannya, kadang sampai nggak dibolehin pun aku masih tetep ngeyel ke Solo.

Aku selalu berterima kasih sama kota budaya itu. Tapi nggak pernah aku bilang selamat tinggal. Nggak mau ninggalin. Bakal terus dikunjungin. Bercita-cita juga berumah tangga dan menetap di kota itu. Sama kamu kan? :')

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertemuan

Mendung Pagi Ini

Setahun ke mana aja?